Jakarta, 13 November 2025 — Ifaupdatenews.com | Tajam, Akurat, Sesuai Fakta.
Perjalanan hidup Megawati Soekarnoputri bukan sekadar kisah seorang putri proklamator bangsa. Ia adalah potret perjuangan panjang seorang perempuan yang bertahan di tengah gelombang tekanan politik paling keras di era Orde Baru. Dari tahun 1966 hingga 1998, Megawati hidup dalam bayang-bayang stigma, pengasingan, dan pengawasan rezim, hanya karena ia adalah anak dari Ir. Soekarno, sang pendiri Republik.
1966: Kudeta Terhadap Bung Karno, Awal Luka Sejarah
Tahun 1966 menjadi titik balik sejarah bangsa. Soekarno — Presiden pertama Republik Indonesia — dikudeta secara politik dari kursinya melalui tekanan militer dan politik. Kudeta itu bukan hanya mengakhiri kekuasaan seorang pemimpin besar, tetapi juga mengubah hidup keluarganya, terutama Megawati.
Sejak saat itu, Megawati menjadi target diskriminasi sistematis. Tahun 1967, ia dikeluarkan dari Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran Bandung, semata karena nama besar ayahnya yang terus dianggap ancaman oleh penguasa baru.
1970: Penolakan Wasiat Pemakaman Soekarno
Tragedi berikutnya datang pada tahun 1970. Saat Soekarno wafat, permintaan keluarga agar beliau dimakamkan di Bogor, sesuai wasiat pribadi sang proklamator, ditolak oleh Soeharto. Rezim memutuskan untuk memakamkan Soekarno di Blitar, Jawa Timur — jauh dari tempat yang diinginkannya.
Keputusan itu menjadi simbol kuat bahwa kekuasaan saat itu berusaha memisahkan Bung Karno bahkan dari sejarah dan rakyat yang dicintainya.
1972–1975: Tekanan Akademik dan De-Sukarnoisasi
Tahun 1972, Megawati kembali mengalami penyingkiran. Ia dikeluarkan dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia akibat tekanan politik. Dua tahun kemudian, Partai Nasional Indonesia (PNI) — partai yang didirikan ayahandanya tahun 1927 sebagai alat perjuangan kemerdekaan — dipaksa bubar dan dilebur dalam fusi partai bentukan Orde Baru.
Tahun 1975 menjadi puncak kebijakan De-Sukarnoisasi — sebuah upaya sistematis untuk menghapus warisan, pemikiran, dan simbol-simbol Sukarno dari ingatan rakyat. Buku-buku, gambar, hingga pidato Soekarno dilarang beredar bebas.
Megawati hidup di tengah masa di mana nama ayahnya menjadi momok politik, namun ia tak pernah tunduk.
1993–1996: Megawati Melawan, Rakyat Bergerak
Dua dekade kemudian, Megawati bangkit di kancah politik. Tahun 1993, Kongres PDI memilihnya sebagai Ketua Umum. Namun, pemerintah Orde Baru di bawah Soeharto mengintervensi kongres dan menolak hasil tersebut.
Puncaknya terjadi pada 27 Juli 1996. Kantor DPP PDI yang saat itu dikuasai kubu Megawati diserang secara brutal oleh massa bayaran dalam peristiwa yang kini dikenal sebagai Kudatuli (Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli).
Peristiwa itu menandai titik balik perlawanan rakyat terhadap kekuasaan otoriter. Banyak aktivis, simpatisan, dan rakyat kecil berdiri di belakang Megawati.
Tahun 1997, rezim Orde Baru justru mengesahkan kepemimpinan versi Soerjadi, menyingkirkan Megawati dari gelanggang politik resmi. Namun, di luar struktur kekuasaan, ia justru tumbuh menjadi simbol perlawanan, ikon demokrasi, dan penerus semangat “Marhaenisme” yang diwariskan ayahnya.
Dari Penindasan ke Kebangkitan
Selama lebih dari tiga dekade, Megawati tiga kali ditangkap dan diinterogasi oleh aparat Orde Baru. Ia hidup di bawah pengawasan intelijen, menghadapi stigma sosial, dan dijauhkan dari ruang publik. Namun perempuan itu tetap tegak berdiri, membangun kekuatan rakyat dari bawah hingga akhirnya pada 1999 — pasca tumbangnya Orde Baru — rakyat mengangkatnya menjadi Wakil Presiden, dan kemudian Presiden ke-5 Republik Indonesia.
Megawati menjadi simbol bahwa sejarah tidak bisa dihapus dengan tekanan. Bahwa kebenaran, meski ditindas, akan menemukan jalannya sendiri. Ia tidak hanya memulihkan nama besar Soekarno, tetapi juga membuktikan bahwa darah perjuangan sang proklamator mengalir kuat dalam dirinya.
JAS MERAH — Jangan Sekali-Kali Meninggalkan Sejarah
Megawati adalah saksi hidup bahwa kekuasaan bisa berganti, tetapi sejarah tak bisa dipadamkan. Dari tahun 1966 hingga 1998, ia menjalani perjalanan getir yang membentuknya menjadi simbol keteguhan dan perlawanan terhadap rezim otoriter.
Kini, sejarah mencatat — Megawati Soekarnoputri bukan sekadar anak Bung Karno, tapi penjaga bara api perjuangan bangsa.
🖋️ Reporter: IFA
📅 13 November 2025
Redaksi: Ifaupdatenews.com — Tajam, Akurat, Sesuai Fakta.
