IFA UPDATE NEWS.COM “AKURAT, TAJAM, SESUAI FAKTA.” “Negara Ini Milik Rakyat, Bukan Penguasa”: Refleksi tentang Feodalisme Baru dan Hilangnya Rasa Malu Kekuasaan

“Negara Ini Milik Rakyat, Bukan Penguasa”: Refleksi tentang Feodalisme Baru dan Hilangnya Rasa Malu Kekuasaan


Oleh: Ifa — Ifaupdatenews.com

Surabaya, 18 November 2025

Gelombang pemikiran kritis kembali mengalir di ruang publik Indonesia. Di tengah suasana politik yang kerap memuja figur dan mengagungkan simbol kekuasaan, seruan untuk kembali pada jati diri konstitusi menguat: negara ini milik rakyat, bukan milik penguasa.

Kalimat itu bukan sekadar slogan. Ia adalah pengingat keras bahwa demokrasi hanya bernapas ketika rakyat berani bersuara. Ketika suara itu hilang, feodalisme modern menemukan pijakannya.


Feodalisme Baru: Ketika Citra Menggeser Akal

Setiap zaman melahirkan bentuknya sendiri dari feodalisme. Bila dulu lutut rakyat ditundukkan oleh mahkota, kini pikiran mereka digembok oleh pencitraan—dari baliho raksasa hingga narasi “pemimpin penyelamat bangsa” yang ditanam lewat media.

Perbedaannya hanya kemasan. Logikanya tetap sama: rakyat diajarkan untuk kagum, bukan berpikir; tunduk, bukan bertanya.

Rasa takut mengkritik penguasa menjadi bentuk baru dari penjinakan publik. Ketakutan yang tampak sepele itu pelan-pelan menggerus hak rakyat sebagai pemilik negara.

Dan ketika rakyat diam, demokrasi hanya tinggal dekorasi.


Mandat Kekuasaan Bukan Ketuhanan

Dalam kerangka konstitusi, presiden, menteri, hingga parlemen hanyalah pemegang mandat sementara. Legitimasi mereka lahir dari kepercayaan rakyat, bukan keabadian jabatan.

Namun sejarah menunjukkan: kekuasaan mudah lupa diri. Ia tak pernah gagal jatuh cinta pada dirinya sendiri.

“Pemimpin itu mandat, bukan tuhan kecil,” demikian narasi kritik yang kini merebak di banyak ruang diskusi.

Bangsa yang rakyatnya cerewet adalah bangsa yang hidup. Sebaliknya, diam bukan tanda kedewasaan—diam adalah tanda menyerah.


Pelajaran dari Ruang Penjara dan Tanah Pembuangan

Pidato “Indonesia Menggugat” (1930) yang ditulis Bung Karno di penjara Banceuy menjadi bukti bahwa gagasan besar justru lahir dari tekanan kekuasaan kolonial. Dari Banceuy ia dipindah ke Sukamiskin, lalu dibuang ke Ende (1934–1938) dan Bengkulu (1938–1942)—upaya sistematis Belanda untuk mematikan pengaruhnya.

Tetapi sejarah membuktikan: tubuh boleh dikurung, gagasan tidak.

Di Ende, di bawah rindang pohon sukun, Soekarno merajut gagasan persatuan yang kelak menjadi cikal bakal Pancasila. Di Bengkulu, ia justru menemukan kembali denyut perjuangan rakyat.

Dari fase itulah lahir keyakinan Bung Karno bahwa rakyat bukan pengikut, tetapi tenaga revolusi. Dan bahayanya perjuangan terjadi ketika rakyat menuhankan pemimpinnya sendiri.


Tan Malaka, Hamka, dan Peringatan dari Tiga Zaman

Nada kritik yang sama dapat ditemukan pada pemikir besar lain.

Tan Malaka melalui Madilog mengingatkan bahwa logika adalah senjata rakyat untuk melawan kebodohan yang diorganisir. Hamka, dalam Falsafah Hidup, menegaskan bahwa kemerdekaan sejati hanya dimiliki oleh manusia yang mampu berdiri dengan akalnya sendiri.

Meski datang dari latar berbeda, ketiganya menyampaikan pesan tunggal:

Ketika rakyat berhenti berpikir, penjajahan baru dimulai.


Refleksi Tanah Air: Saat Rakyat Lupa Siapa Majikannya

Pada banyak kesempatan, rakyat masih ditempatkan sebagai “bawahan.”

Di layar televisi, pejabat dipuja. Di ruang publik, rakyat diminta bersyukur.

Padahal setiap rupiah APBN, setiap fasilitas negara, setiap perjalanan dinas—semua itu dibayar oleh keringat rakyat.

Karena itu feodalisme tak selalu turun dari istana.

Kadang ia tumbuh dari hati rakyat yang terlalu kagum untuk sadar.

Ketika figur lebih diagungkan daripada akal sehat, demokrasi bergeser menjadi panggung sandiwara: rakyat tepuk tangan, elite yang menulis naskahnya.


Cinta Tanpa Taklid Buta

Menghormati pemimpin adalah adab.

Tetapi memuja pemimpin adalah penyakit sosial.

Cinta politik yang tidak disertai logika mudah berubah menjadi rantai yang membelenggu pikiran. Dan seperti diingatkan Spinoza: manusia sering memperjuangkan perbudakannya sendiri seolah itu kebebasan.

Kecanduan figur—bukan cinta bangsa—adalah racun halus bagi demokrasi.


Konstitusi: Rakyat Berhak Mengingatkan Penguasa

UUD 1945 Pasal 28E Ayat (3) menjamin setiap warga untuk berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat.

Artinya, mengkritik bukan makar. Mengingatkan bukan perlawanan.

Justru itulah bentuk tertinggi cinta kepada republik.

Kekuasaan bersifat sementara.

Namun keputusan penguasa dapat berdampak hingga generasi cucu kita.

Di sinilah pentingnya rakyat menjaga nalar, bukan sekadar menjaga perasaan elit.


Penutup: Kedaulatan Itu Permanen

Bangsa yang besar bukan yang memiliki banyak pemimpin, tetapi yang rakyatnya tak pernah lupa bahwa mereka berdaulat.

Di tengah arus feodalisme baru, rakyat perlu kembali menegakkan akal sehat, bukan sekadar mengibarkan simbol. Karena republik ini berdiri bukan oleh pesona pemimpin, tetapi oleh keberanian rakyat yang menolak tunduk.

Seperti ditulis dalam salah satu catatan kontemporer:

“Kekuasaan itu pinjaman, tapi kedaulatan rakyat adalah permanen.”

— Blue Emotion Soul, 2025


Tagar:

#RakyatBerdaulat #AntiFeodalisme #JurnalismeKritis #IndonesiaBerpikir #KritikBukanMakar #DemokrasiTanpaTaklid #RefleksiKebangsaan


Pewarta: ifa

Lebih baru Lebih lama