Ketika Opini Menyesatkan Mengacaukan Hukum
Oleh: Hartanto Boechori
Ketua Umum PJI (Persatuan Jurnalis Indonesia)
Praktisi Pembelaan Non-Litigasi Masyarakat Kecil
Pewarta: Ifa – IFAUPDATENEWS.COM | Tajam, Akurat, Sesuai Fakta
Pendahuluan — Ketika “Pendapat Ahli” Justru Membingungkan Publik
Polemik mengenai keaslian ijazah Presiden Joko Widodo kembali dipelintir menjadi isu nasional. Namun yang mengherankan bukanlah isu itu sendiri, melainkan keberanian sebagian pihak—termasuk sejumlah yang mengaku “ahli hukum”—mengeluarkan pernyataan yang justru bertentangan dengan logika hukum paling dasar.
Ada yang menyebut bahwa kasus Roy Suryo Cs tidak dapat diproses sebelum keaslian ijazah Presiden Jokowi dibuktikan di pengadilan. Ada pula yang mengklaim PTUN merupakan lembaga yang berwenang menentukan keaslian ijazah.
Pernyataan tersebut keliru secara fatal dan menyesatkan publik. Tidak ada satu aturan pun dalam KUHAP, KUHP, atau hukum administrasi negara yang mensyaratkan bahwa keaslian dokumen harus diuji di pengadilan lain sebelum proses pidana dapat berjalan.
Jika logika terbalik seperti ini terus dipaksakan, maka:
Setiap pelaku fitnah cukup berkata: “Buktikan dulu dokumen itu di pengadilan lain!”
Penegakan hukum akan lumpuh total.
1. Kewenangan Menyatakan Ijazah Asli atau Palsu: Bukan Pengadilan
Hukum sangat jelas menyebutkan bahwa institusi penerbit adalah pihak yang berwenang menentukan keaslian sebuah ijazah.
Dalam perkara ini, kewenangan berada pada:
UGM dan lembaga akademik terkait.
Pengadilan tidak “menentukan” apakah ijazah asli atau palsu.
Pengadilan hanya menguji bukti yang diajukan.
Jika UGM menyatakan ijazah tersebut asli, maka secara hukum persoalan itu selesai.
Membawa urusan akademik ke PTUN atau peradilan lain adalah bentuk salah kaprah hukum yang fatal.
2. Dalam Hukum Pidana, Penuduh yang Wajib Membuktikan
Asas hukum pidana paling mendasar menyatakan:
“Barang siapa menuduh, dialah yang wajib membuktikan.”
Artinya, pihak yang menuduh Presiden Jokowi menggunakan ijazah palsu wajib menunjukkan bukti atas tuduhan tersebut.
Korban fitnah tidak berkewajiban:
membuka dokumen pribadi,
membantah fitnah,
atau membuktikan dirinya benar.
Memaksa korban pembuktian adalah pembalikan asas hukum yang tidak dapat diterima.
3. PTUN Tidak Memiliki Wewenang Menguji Keaslian Ijazah
Anggapan bahwa PTUN berwenang menentukan keaslian ijazah adalah kesalahan fatal yang terus diulang sebagian pihak.
PTUN hanya mengadili:
KTUN (Keputusan Tata Usaha Negara)
yang diterbitkan oleh pejabat administrasi pemerintahan
Pertanyaannya sederhana:
Apakah ijazah adalah KTUN? Tidak.
Apakah UGM pejabat administrasi negara? Tidak.
Ijazah adalah dokumen akademik, bukan keputusan administratif.
Karenanya, PTUN tidak memiliki kompetensi absolut atas persoalan ini.
4. Pemrosesan Kasus Roy Suryo Cs Sah dan Tidak Perlu Menunggu Pengadilan Lain
Esensi perkara bukan tentang keaslian ijazah, melainkan fitnah tanpa bukti.
Penyidik tidak berkewajiban:
menunggu putusan PTUN,
menunggu pengadilan lain,
atau memeriksa ijazah pribadi Presiden.
Justru bila penyidik menunggu lembaga lain, hal itu merupakan pelanggaran asas hukum pidana.
Apa yang menjadi kewajiban penyidik?
Menilai: apakah ada tuduhan yang disampaikan tanpa bukti, dan apakah tuduhan itu merusak kehormatan seseorang.
Jika iya, unsur fitnah terpenuhi.
Penetapan tersangka terhadap Roy Suryo Cs dinilai tepat dan sesuai asas hukum.
5. Sikap Hukum Penyidik: Tegas, Tegak, dan Sesuai Prosedur
Dalam perkara fitnah yang berdampak luas, penyidik wajib:
1. Menerima laporan korban.
2. Meminta penuduh membuktikan tuduhannya.
3. Menetapkan tersangka jika unsur terpenuhi.
4. Melakukan penahanan jika ada potensi pengulangan atau menghilangkan bukti.
Ini bukan opini. Ini standar universal hukum pidana.
6. Ijazah Jokowi Tidak Wajib Diperiksa: Tidak Relevan Dalam Kasus Fitnah
Penyidik tidak memiliki dasar hukum untuk memeriksa ijazah Presiden Jokowi dalam perkara ini.
Yang relevan adalah:
Apakah penuduh memiliki bukti?
Jika tidak, maka unsur fitnah terpenuhi.
Ini berlaku di semua yurisdiksi hukum modern.
7. Mengembalikan Logika Hukum ke Rel yang Benar
Ketua Umum PJI, Hartanto Boechori, menegaskan lima poin penting:
1. Hukum harus lurus, bukan dibelokkan demi opini.
2. Penuduh wajib membuktikan, bukan korban.
3. PTUN tidak memiliki otoritas terhadap ijazah.
4. Penyidik wajib memproses perkara tanpa menunggu lembaga lain.
5. Verifikasi ijazah adalah kewenangan lembaga penerbit.
Beliau membuka ruang diskusi bagi akademisi, asalkan kritik yang diajukan berdasarkan asas hukum, bukan kepentingan opini politik.
Penutup — Negara Tidak Boleh Dibelokkan Oleh Kebisingan Hoaks
Fitnah adalah ancaman terhadap ketertiban negara.
Jika pejabat publik dapat dijatuhkan hanya dengan tuduhan tanpa bukti, dan korban diwajibkan membuktikan dirinya benar, maka:
Negara akan runtuh bukan karena korupsi, tetapi karena hoaks.
Kedaulatan hukum harus berdiri di atas asas, bukan pada kesimpangsiuran opinisi.
Negara tidak boleh tunduk pada narasi menyesatkan.
Hukum harus tegak lurus: Tajam, Akurat, Sesuai Fakta.
